Review Buku - Setelah delapan tahun, Eka Kurniawan, penulis yang dikenal dengan gaya penulisan surealis dan pendekatan kritis terhadap masyarakat, akhirnya meluncurkan novel terbarunya yang sangat dinanti, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong. Kabar tentang buku ini telah beredar sejak acara Ubud Writers and Readers Festival 2023, di mana Eka membacakan beberapa bab dari novel yang saat itu masih dalam proses perampungan. Pada 31 Juli 2024, buku ini resmi diterbitkan dan akan tersedia di toko buku-toko buku di seluruh Indonesia. Novel ini telah mencuri perhatian banyak pembaca dan pengkritik, mengingat prestasi Eka sebelumnya dalam dunia sastra dan film.
Jejak Karya Eka Kurniawan
Eka Kurniawan adalah nama yang sudah tidak asing lagi dalam dunia sastra Indonesia. Karya-karyanya, seperti "Cantik Itu Luka" dan "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas," telah mendapat pengakuan internasional dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. "Cantik Itu Luka" bahkan memenangkan penghargaan World Readers' Award pada tahun 2016 di Hong Kong. Novel "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" diadaptasi menjadi film yang juga mendapat banyak pujian. Dengan rekam jejak seperti itu, tidak mengherankan jika peluncuran Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong disambut dengan antusias oleh penggemar dan kritikus sastra.
Sinopsis dan Gaya Penulisan
Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong mengisahkan kehidupan seorang anak bernama Sato Reang, yang terjerat dalam belenggu ajaran dan harapan yang ditanamkan oleh ayahnya. Cerita dimulai dengan sebuah kutipan yang menggambarkan konflik batin Sato Reang:
"Ini kisah Sato Reang. Kadang ia demikian intim dengan dirinya, sehingga ini merupakan cerita tentang aku, tapi kali lain ia tercerabut, dan ini menjadi kisah tentang Sato Reang. Isi kepalanya riuh dan berisik, terutama sejak ia berumur tujuh tahun, ketika sang ayah berkata kepadanya, 'Sudah saatnya kau menjadi anak saleh.'"
Novel ini menggambarkan bagaimana Sato Reang berjuang dengan tuntutan untuk menjadi anak saleh menurut standar ayahnya, Umar. Kewajiban untuk sembahyang lima kali sehari dan mengaji setiap malam menjadi beban yang mengganggu kebahagiaan dan kebebasan masa kecilnya. Sato Reang merasa hidupnya dikuasai oleh norma-norma religius yang ketat dan tidak bisa menikmati kebebasan seperti teman-temannya.
Kemasan dan Edisi Spesial
Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong pertama kali diterbitkan dalam edisi premium dengan kemasan hard cover berjaket, yang dirancang secara khusus oleh seniman kenamaan asal Yogyakarta, Wulang Sunu. Sampul berwarna pink cerah ini dilapisi tekstur linen dengan finishing deboss karakter dari novel, menciptakan tampilan yang unik dan menarik. Edisi hard cover ini hanya tersedia selama tahun 2024, memberikan nilai tambah bagi para kolektor dan penggemar setia Eka Kurniawan.
Pemesanan pre-order novel ini dibuka sejak 7 Juli 2024 di beberapa lokasi seperti Gramedia Margonda Depok dan Gramedia Emerald Bintaro. Selain itu, buku ini juga dapat dipesan secara online mulai 8 hingga 15 Juli 2024. Mereka yang melakukan pre-order akan mendapatkan harga spesial, tanda tangan Eka Kurniawan, stempel kayu Ex Libris, postcard, dan bookmark—semua merupakan bonus yang menambah nilai buku ini bagi para pembacanya.
Kisah dan Tema
Dalam Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, kita melihat bagaimana Sato Reang merasakan konflik antara kepatuhan religius dan keinginan untuk kebebasan pribadi. Sejak kecil, ia dibebani oleh tuntutan ayahnya untuk mematuhi aturan religius yang ketat. Kewajiban tersebut mengekang kebebasannya, membuatnya merasa tertekan dan jenuh dengan kehidupan sehari-hari yang dipenuhi dengan ritual-ritual keagamaan.
Setelah kematian ayahnya, Sato Reang berharap bisa bebas dari belenggu ajaran dan perintah tersebut. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—bayang-bayang sosok ayahnya terus menghantui kehidupannya, dan ia merasa tidak bisa menghindar dari kebiasaan dan norma-norma yang diwariskan oleh ayahnya. Hal ini menjadi sumber konflik internal yang mendalam bagi Sato Reang.
Penggambaran Karakter
Karakter utama dalam novel ini adalah Sato Reang, yang digambarkan sebagai sosok yang kompleks dan berkonflik. Sato Reang merasa tertekan oleh ekspektasi yang diberikan kepadanya dan berusaha keras untuk melepaskan diri dari pengaruh ayahnya. Ia merasa dirinya harus melawan norma-norma sosial dan religius yang dianggapnya menghambat kebebasannya.
Ayah Sato Reang, Umar, adalah figur otoriter yang mendikte kehidupan anaknya dengan aturan-aturan yang ketat. Kematian Umar seharusnya memberikan kebebasan kepada Sato Reang, tetapi justru menambah beban emosional yang dirasakannya, karena ia terus merasa terikat dengan ajaran dan kebiasaan ayahnya.
Jamal, salah satu teman sekelas Sato Reang, berfungsi sebagai kontras bagi karakter utama. Jamal adalah anak yang taat dan saleh, menjadi gambaran dari kebalikan dari Sato Reang yang memberontak. Hubungan antara Sato Reang dan Jamal menggambarkan ketegangan antara kepatuhan religius dan kebebasan individu.
Gaya Penulisan dan Struktur
Eka Kurniawan dikenal dengan gaya penulisan yang khas dan seringkali penuh dengan unsur surealis. Namun, dalam Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, penulis mengadopsi pendekatan yang lebih realistis dan sederhana. Alur cerita bergerak mundur-maju, menggambarkan masa kecil Sato Reang, masa pascakematian ayahnya, dan masa ketika Sato Reang mencoba untuk melawan norma-norma yang telah ditanamkan kepadanya.
Struktur cerita ini memberikan perspektif yang mendalam mengenai perubahan dalam diri Sato Reang, dari masa kecilnya yang penuh tekanan hingga perjuangannya untuk menemukan identitas diri di tengah-tengah bayang-bayang masa lalunya. Tanpa pembagian bab yang jelas, penuturan cerita berlangsung dengan alur yang dinamis dan mengalir, yang mencerminkan kompleksitas emosional dan psikologis dari karakter utama.
Tema dan Kritikan Sosial
Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong menyentuh berbagai tema penting, termasuk kebebasan individu, norma-norma sosial, dan perjuangan untuk menemukan identitas diri. Novel ini juga mengandung kritik terhadap struktur sosial dan religius yang dapat membatasi kebebasan individu. Melalui karakter Sato Reang, Eka Kurniawan mengeksplorasi bagaimana tekanan dari lingkungan sosial dan keluarga dapat membentuk, serta kadang-kadang menghancurkan, individu.
Di bagian akhir novel, penulis menyelipkan elemen politik dengan referensi kepada berbagai gerakan pemberontakan di Indonesia, seperti Darul Islam, PKI, Permesta, dan Republik Maluku Selatan. Penggunaan elemen politik ini bisa dianggap sebagai refleksi dari konflik batin Sato Reang dan pertanyaannya tentang identitas dan kebebasan. Mungkin, penulis ingin menunjukkan bahwa pemberontakan pribadi Sato Reang adalah cerminan dari ketidakpuasan yang lebih luas terhadap sistem yang mengekang kebebasan individu.
Penerimaan dan Kesimpulan
Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong adalah karya yang sangat menarik dan menawarkan pandangan yang mendalam mengenai perjuangan individu melawan norma-norma sosial dan religius. Gaya penulisan Eka Kurniawan yang sederhana namun penuh makna memungkinkan pembaca untuk merenungkan kompleksitas emosional dan sosial yang digambarkan dalam novel ini.
Dengan kemasan yang menarik, edisi premium yang hanya tersedia selama tahun 2024, dan bonus pre-order yang spesial, buku ini menawarkan lebih dari sekadar bacaan. Ini adalah sebuah karya yang menggugah dan mengundang pembaca untuk memikirkan kembali pandangan mereka tentang kebebasan, norma-norma sosial, dan identitas pribadi.
Secara keseluruhan, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong adalah tambahan yang berharga untuk daftar karya Eka Kurniawan dan menawarkan perspektif baru tentang bagaimana individu dapat berjuang melawan berbagai tekanan dari lingkungan sosial dan religius. Novel ini akan menjadi bacaan yang relevan dan menggugah bagi siapa saja yang tertarik pada eksplorasi mendalam mengenai identitas dan kebebasan pribadi.