Nasional - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menyampaikan pandangannya yang tegas terkait perbedaan pandangan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, mengenai kapitalisme. Hasto mengkritik pemahaman Jokowi tentang kapitalisme dan mengangkat kembali pemikiran Soekarno yang lebih mendalam dalam melihat isu ini.
Dalam kesempatan menghadiri acara bedah buku "Merahnya Ajaran Bung Karno; Narasi Pembebasan Ala Indonesia" yang ditulis oleh Airlangga Pribadi, Hasto Kristiyanto memberikan pandangannya mengenai kapitalisme dan bagaimana pandangan tersebut berperan dalam kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jokowi. Acara tersebut digelar di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Banten, pada Jumat (16/8/2024), dan dihadiri oleh berbagai tokoh dan akademisi yang tertarik dengan kajian pemikiran Soekarno.
Hasto memulai pidatonya dengan menekankan pentingnya memahami kapitalisme dari sudut pandang yang lebih luas dan kompleks, seperti yang dilakukan oleh Soekarno. Menurut Hasto, Soekarno melihat kapitalisme bukan hanya sebagai sebuah sistem ekonomi, tetapi sebagai sebuah ideologi yang menindas dan mengekspoitasi struktur politik, ekonomi, dan sosial di masyarakat.
"Bagi Bung Karno, kapitalisme adalah ide dan gagasan yang menindas melalui struktur politik, ekonomi, dan sosial," tegas Hasto di hadapan para hadirin. Pernyataan ini disampaikan sebagai bentuk kritik terhadap pandangan Jokowi yang dianggap terlalu menyederhanakan konsep kapitalisme.
Dalam pandangan Hasto, Jokowi cenderung melihat kapitalisme hanya sebagai sebuah bangunan ekonomi tanpa memahami dampak ideologis dan sosial yang lebih luas dari kapitalisme itu sendiri.
"Ini berbeda dengan pandangan Pak Jokowi yang melihat kapitalisme hanya sebagai 'sebuah bangunan'," tambah Hasto, menggarisbawahi perbedaan yang mendasar dalam cara pandang kedua pemimpin tersebut.
Hasto juga menyesalkan bahwa selama masa jabatannya, Jokowi tidak sempat membaca buku yang membahas pemikiran Soekarno ini. Menurut Hasto, pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran Soekarno dapat memberikan arah yang lebih jelas dalam memimpin negara menuju pembebasan rakyat, bukan sekadar kesejahteraan bagi kelompok tertentu.
"Andai saja Pak Jokowi sempat membaca buku ini, pemikiran merahnya Bung Karno mungkin bisa lebih diarahkan untuk pembebasan rakyat, bukan hanya untuk kesejahteraan keluarga penguasa," ujar Hasto dengan nada menyesal.
Lebih lanjut, Hasto mengulas tentang pentingnya seorang pemimpin memiliki pemikiran intelektual yang mendalam, yang tidak hanya bertujuan untuk mencapai keberhasilan ekonomi tetapi juga memahami dan meresapi nilai-nilai ideologis yang mendasarinya. Dalam hal ini, Hasto mengacu pada pemikiran filsuf politik Hannah Arendt, yang menekankan bahwa kekuasaan sejati tidak terletak pada kekerasan fisik atau manipulasi, tetapi pada kekuatan ide dan gagasan yang hidup di benak masyarakat.
"Kekuasaan sejati terbentuk dari ide dan gagasan kolektif. Jika ide ini ditinggalkan oleh pemegang kekuasaan, maka yang tersisa hanyalah kekerasan," ucap Hasto, merujuk pada contoh manipulasi hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk kekerasan yang terjadi ketika kekuasaan kehilangan ideologinya.
Pernyataan Hasto ini juga menyinggung praktik-praktik hukum yang dianggapnya menyimpang dari semangat demokrasi yang diperjuangkan oleh Soekarno. Hasto menilai bahwa manipulasi hukum di MK mencerminkan kekerasan struktural yang terjadi ketika ideologi yang seharusnya menjadi landasan bagi pengambilan keputusan hilang dan digantikan oleh kepentingan pragmatis.
Acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Lebak ini menghadirkan diskusi yang intens mengenai relevansi pemikiran Soekarno dalam konteks modern. Buku "Merahnya Ajaran Bung Karno; Narasi Pembebasan Ala Indonesia" karya Airlangga Pribadi menjadi fokus utama diskusi, di mana berbagai pandangan kritis mengenai kapitalisme dan peran negara dalam melindungi rakyat dari eksploitasi dibahas secara mendalam.
Dalam bukunya, Airlangga Pribadi menguraikan bagaimana ajaran Soekarno mengenai nasionalisme, sosialisme, dan Marhaenisme tetap relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan kapitalisme saat ini. Airlangga menyoroti bahwa pemikiran Soekarno tidak hanya relevan dalam konteks sejarah Indonesia, tetapi juga sebagai landasan ideologis dalam melawan dominasi kapitalisme global.
Hasto Kristiyanto dalam diskusi tersebut juga menekankan pentingnya menjaga dan melanjutkan warisan pemikiran Soekarno dalam setiap langkah kebijakan yang diambil oleh negara. Ia mengingatkan bahwa kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai yang diajarkan oleh pendiri bangsa dalam menghadapi tantangan zaman.
"Kita harus kembali pada akar pemikiran Bung Karno untuk memahami bagaimana Indonesia bisa berdiri tegak di tengah badai globalisasi dan kapitalisme yang semakin kuat," pungkas Hasto.
Acara ini tidak hanya menjadi ajang diskusi akademis, tetapi juga sebagai refleksi terhadap perjalanan politik Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi. Kritik yang disampaikan oleh Hasto menggarisbawahi perlunya evaluasi yang mendalam terhadap arah kebijakan yang diambil pemerintah, khususnya dalam hal bagaimana negara menghadapi dan mengelola kapitalisme.
Dengan adanya pandangan yang berbeda antara Soekarno dan Jokowi mengenai kapitalisme, diskusi ini diharapkan dapat membuka ruang bagi dialog yang lebih luas mengenai arah masa depan Indonesia. Seperti yang diungkapkan Hasto, penting bagi para pemimpin dan masyarakat untuk terus menggali dan memahami ajaran Bung Karno sebagai pijakan dalam mengarungi tantangan zaman yang semakin kompleks.
"Pemikiran Bung Karno bukan hanya untuk dipahami sebagai sejarah, tetapi sebagai panduan bagi kita semua dalam meraih cita-cita bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera," tutup Hasto, menegaskan pentingnya memahami dan menerapkan ajaran Soekarno dalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Tags
Nasional